Aplikasi tekhnik Hydroseeding untuk pengendalian dan pencegahan erosi permukaan
Hydroseeding berasal dari kata hydro dan seeding yang berarti campuran antara air dan benih (dalah bentuk biji) yang dikombinasikan sedimikian rupa dengan material alin sehingga tercipta formula yang berguna dalam revegetasi pada lahan yang rusak. Larutan ini diangkut dalam sebuah tangki yang ditempatkan di atas truk atau trailer dan siap disemprotkan di atas tanah dengan lapisan yang relatif rata dan seragam. Salah satu material dalam campuran ini yaitu mulsa akan membantu menutup tanah dan mempertahankan tingkat kelembapan bagi tanah dan benih (biji). Tekhnik ini memacu perkecambahan biji lebi cepat,penutupan tanah yang lebih luas dan mampu mengurangi (meminimalisir) ancaman erosi tanah.
Teknik Hydroseeding berawal dari Amerika Serikat sebagai solusi atas permasalahan penanaman secara manual yang memakan waktu sangat lama dalam proses penanaman tumbuhan yang umumnya dilakukan pada areal lahan yang luas. Teknik Hydroseeding terus berkembang hingga sampai di dataran Inggris pada awal tahun 1960 dan menyebar di Eropa secara cepat. Dewasa ini Hydroseeding umunya dilakukan pada areal lahan bekas pertambangan yang mempunyai lapisan top soil yang buruk dengan tidak ada kurangnya kandungan unsur hara sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman maupun pada areal dengan kemiringan / kecuraman sedang sampai ekstrim yang menghadapi resiko erosi dan sedimentasi tanah.
Keuntungan aplikasi Teknik Hydroseeding
Pada pengaplikasian di areal lereng, umumnya hydroseeding dikombinasikan dengan pemasangan (instalasi) jaring / net yang berbahan serat goni (jute jet) atau kelapa (cocomesh) yang bertujuan untuk memperkuat permukaan lereng agar tidak mudah tererosi dan mendukung pertumbuhan tanaman penutup tanah.
Dengan teknik ini PT GPI menjadi pemimpin dalam bidang revegetasi lahan paska tambang dan Pengendalian Erosi proyek infrastruktur PT. Green Planet Indonesia memperoleh kepercayaan dari :
Pada perkembangannya,teknik hydroseeding tidak hanya diaplikasikan di areal paska tambang saja, melainkan mulai menjadi alternatif dalam pencegahan erosi maupun longsoran pada proyek-proyek dimana pekerjaan sipil (sistem cut and fill) dilakukan, seperti pada pembuatan akses jalan di wilayah operasi geothermal (Gunung Salak dan Darajat Garut) yang harus memotong bukit maupun sebagai penataan lansekap di komplek perkantoran atau perumhan (dengan efek hamparain hijau rereumputan) seperti pada komplek Petrosea Offshore Station Base (POSB) di Tanjung Batu Kaltim.